Puluhan
tahun, terutama pada masa konflik, ribuan makam tua di Aceh Utara tak
terurus. Tak banyak studi tentang batu bersurat peninggalan Kerajaan
Samudra Pasai. Padahal, bebatuan ini menyimpan jejak kejayaan peradaban
pesisir timur Aceh. Bagi Taqiyuddin Muhammad, epigrafi dalam prasasti
itu adalah bagian dari Kerajaan Pasai yang perlu diselamatkan.
Sebagian prasasti penting itu kondisinya mengenaskan. Ada makam berukir
yang patah tertimpa pohon, tersembunyi di balik semak belukar, dan
sebagian melapuk diselimuti lumut.
Kenyataan ini menggugah Taqiyuddin, terutama setelah ia mempelajari
sejarah kebudayaan Islam di Mesir dan menguasai bahasa Arab. Keinginan
itu semakin kuat setibanya dia di Aceh pada 2005. Bekal ilmu selama 14
tahun belajar di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat,
Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, cukup baginya untuk mulai
”membongkar” prasasti Pasai.
Ia sendiri tak tahu banyak jejak
sejarah ”kampungnya”. Pria kelahiran Peusangan, Biereun, Aceh, ini
justru akrab dengan sejarah Mesir kuno.
Pascaperdamaian di
Aceh, Agustus 2005, dia memulai perjuangannya. Pada 2007 ia mengajak
sejumlah pemuda yang mempunyai gagasan dan keinginan sama untuk
bergabung. Upaya ini bukan pekerjaan ringan. Selain harus berjuang
dengan terbatasnya dana, ia mesti menahan diri dari cibiran sejumlah
kerabat dan tetangga.
”Mereka sempat mengatakan, ’Ah itu hanya
proyek tengku, paling nanti juga bawa proposal ke kantor bupati.’
Membawa proposal ke kantor pemerintah berarti meminta dana. Ini stigma
negatif yang perlu diluruskan,” tutur Taqiyuddin.
sumber:
Posting Komentar