Oleh Rizal Fahmi
MELIHAT konteks sejarah Aceh, daerah berjuluk “Serambi Mekkah”
merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat, yang mana dalam priodesasi
sejarah pada masa Ali Mughayatsyah sampai pada masa kerajaan Iskandar
Muda telah melakukan hubungan kontak diplomatik dengan bangsa luar
sepeti Turki, Prancis, dan Inggris. Hal ini membuktikan bahwa Aceh
merupakan sebuah kerajaan yang besar dan patut dihargai nilai
kesejarahannya yang membawa peradaban gemilang dalam pentas dunia
Internasional.
Perang Aceh yang dimulai pada tahun 1873, ini
merupakan sebuah pendeklarasian perang terhadap kolonialis Belanda yang
ingin menduduki wilayah Aceh, akibat dari perang tersebut tewasnya Mayor
Jendral Kohler akibat terkena peluru senapan serdadu Aceh. Perang Aceh
terjadi disebabkan karena ada pengkhianatan Belanda terhadap Traktat
London yang mana Belanda tidak bisa masuk ke daerah Aceh melainkan ke
daerah wilayah Sumatera Timur, akan tetapi Belanda melanggar hal
perjanjian tersebut. Hal inilah yang membuat Rakyat Aceh untuk melawan
Belanda (G.A.Geerts: 2007).
Setelah Belanda berhasil menguasai
Aceh dalam perang yang menghabiskan begitu banyak biaya dan menelan
korban yang amat besar dikalangan mereka, Belanda percaya hanya akan
dapat mempertahankan kekuasaan dengan pengorbanan finansial lebih besar
lagi. Seiring dengan berbagai cara untuk melumpuhkan Aceh, jasa Snouck
Hougronje pun dipakai untuk melumpuhkan Aceh.
Strategi yang
dilakukan oleh Belanda adalah berusaha memberikan kompensasi kepada
rakyat Aceh bahwa Agama dan Adat Istiadat mereka akan terpelihara baik
di bawah pemerintahan Belanda, dan untuk mempertahankan perimbangan
kekuatan antara kelompok-kelompok ulebalang dan ulama. Pemerintah
Belanda juga memperluas program pasifikasinya di Aceh dalam bidang
sosial-ekonomi (Nazaruddin Syamsuddin,1999).
Hasrat untuk
melumpuhkan Aceh yang ternyata telah berhasil ini ditandai dengan
jatuhnya Istana Raja pada tahun 1874 ke tangan Belanda, sekaligus
ditangkapnya Sultan Muhammad Daud Syah 1903, sehingga Pemerintahan
kolonial Belanda resmi melakukan pengumuman bahwa Aceh berhasil
dikalahkan, akan tetapi semangat juang rakyat Aceh yang bergerilya tidak
bisa dikalahkan.
Tidak hanya itu saja yang dipasang strategi
untuk menaklukkan Aceh, Pemerintah Belanda memberikan ruang kepada
ulebalang untuk mengakui kedaulatan Belanda secara politis, dan Belanda
pun mengukuhkan atas kekuasaan Ulebalang-ulebalang tersebut atas
Nanggroe, (wilayah).
Perjanjian antara Belanda dan Ulebalang
mengenai pengakuan kedaulatan Belanda disebut Korte Atjeh-Veerklaring
(perjanjian pendek). Pada tahun 1898, perjanjian diperbaharui oleh C.
Snouck Hugronje dengan memasukkan sebuah klausal pasal baru, para
Ulebalang mengaggap musuh Belanda sebagai musuh mereka juga dan mengakui
Nanggroe sebagai bagian dari Hindia Belanda.
Peristiwa di
atas, jelas bahwa ulebalang telah mengkhianati kedaulatan Aceh dan
menyerahkannya kepada Belanda. Kondisi ini terjadi ketika Istana
Kerajaan Aceh jatuh ketangan Belanda serta penangkapan Sultan Muhammad
Daud Syah. Peristiwa inilah yang menganggap bahwa Ulebalang di mata
masyarakat Aceh sebagai musuh yang telah melakukan persekongkolan dengan
Belanda.
Revolusi sosial muncul pada tahun 1946 yang
diprakarsai oleh ulama untuk melawan ulebalang dan merebut kembali
kekuasan politik, hal tersebut terjadi setelah Belanda hengkang dari
Aceh. Akan tetapi ulebalang tidak serta merta memberikan kekuasaan
tersebut melainkan merespon dengan perlawanan. Karena pihak Uleebalang
mereka tidak ingin kekuasaannya jatuh kepada ulama maupun masyarakat
lainnya, hal ini bisa membuat jatuhnya harga diri mereka maupun strata
sosial yang pada dasarnya mereka berasal dari keturunan bangsawan pada
masa kerajaan Aceh.
Perang Cumbok ini merupakan perang saudara
antara sesama rakyat Aceh yang sengaja disetting oleh pemerintah
kolonial Belanda untuk mengkotakkan rakyat Aceh melalui pemberian
jabatan kekuasaan pada pemerintahan dan pengkotakan pada lapisan sosial
yaitu memberikan sebuah hak istimewa kepada kelompok-kelompok tertentu,
inilah cara Belanda memukul karakter orang Aceh pada saat itu. Ini
merupakan strategi yang ampuh untuk melumpuhkan perjuangan orang Aceh
yang bisa diadu domba demi kepentingan politik semata.
Posting Komentar