Meski begitu, setidaknya dapat diketahui
bahwa sebelum memasuki abad ke 16 itu, telah muncul tiga kerajaan yang
cukup kuat di pesisir utara Sumatra. Pasai, Pidir, dan Aceh. Menurut
Tome Pires, pada waktu itu Aceh merupakan kekuatan yang “masih muda”
jika dibandingkan dengan Pasai dan Pidir. Bahkan sebelum 1520, Aceh
masih merupakan daerah bawahan Pidir. Adalah Sultan Ali Mughayat Syah
yang memimpin Aceh untuk merdeka dari Pidir.
Sultan Brahim (sebutan orang Portugis untuk Sultan Ali) kemudian menjalankan politik ekspansi dan mulai
membangun imperium Kesultanan Aceh Darussalam. Belum diketahui kapan
Sultan Brahim naik tahta, tapi diketahui bahwa ia menyatakan merdeka
dari Pidir pada 1520 dan mulai Daya pada tahun itu juga. Bahkan tujuh
tahun sebelumnya, Aceh menyerang Deli. Setalah mengepungnya selama enam
minggu, akhirnya Deli jatuh. Pada tahun 1524 Pasai dan Pidir malah
berhasil ditaklukkannya. Tak berselang lama, setelah memantapkan
kekuasaannya, Aceh bersiap melawan Portugis di Malaka. Mei 1521, armada
Jorge de Brito harus menerima kekalahan menghadapi armada Kesultanan
Aceh.
Aceh terus berjaya. Tahun 1537 Sultan
Alaudin Ri’ayat Syah Al-Kahar naik tahta. Sama seperti pendahulunya,
Aceh tetap menjalankan politik ekspansinya, bahkan semakin gencar.
Hubungan bilateral dengan kerajaan-kerajaan Timur Tengah digiatkan
terutama dengan Mesir, Abbyssinia, dan Turki. Pada masa pemerintahan
Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Kahar inilah berturut-turut Batak, Aru,
dan Barus ditaklukkan.
Berkali-kali Aceh mencoba menghalau
kekuatan Portugis di Malaka. Tercatat pada 1537, 1547, dan 1568 Malaka
diserang Aceh. Penyerangan ini juga melibatkan tentara kerajaan Turki
yang diperbantukan. Setelah melewati masa-masa perang yang panjang
melawan Portugis, Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Kahar mangkat pada
1571. Penggantinya adalah Sultan Alaudin Mansur Syah yang memerintah
hingga tahun 1585. Selanjutnya pada periode 1585-1588 naiklah Sultan
Alaudi Ri’ayat Syah ibnu Sultan Munawar Syah dan selanjutnya Sulatan
Alaudin Ri’ayat Syah ibnu Firman Syah.
Sejak masa itu, mulailah para kompeni
Inggris dan Belanda memasuki Nusantara. James Lancester singgah di Aceh
pada 1599 dan kembali lagi pada 1602. Juga orang-orang Belanda di bawah
Cornelis de Houtman pada 30 Juni 1599. Saat itu Aceh terkenal akan hasil
ladanya. Sultan Munawar Syah wafat pada 1604 dan digantikan Sultan Muda
atau Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Mukammal hingga wafat pula tahun
1607.
Setelah wafatnya Sultan Muda, naiklah
Sulatan Iskandar Muda dan dimulailah masa keemasan Kesultanan Aceh.
Semasa pemerintahan Iskandar Muda wilayah Aceh telah meliputi Samudera
Pasai, Pidir, Aru, Tiku, Deli, Pasaman, Lamuri, Daya, dan beberapa
koloni di wilayah semenanjung Malaka. Dapat dipastiakan bahwa
Malaka-Portugis adalah sebuah kegagalan sampai saat itu. Tetapi Sultan
tentu tak mau kehilangan kontrol terhadap Selat Malaka yang ramai itu.
Setidaknya Denys Lombard mencatat bahwa Kesultanan Aceh dapat menguasai
Batu Sawar, Kedah, dan Pahang. Otomatis dengan begitu meskipun Malaka
tetap berada dalam penguasaan Portugis, tetapi Sultan Iskandar Mudalah
yang menguasai jaringan perdagangan di Selat Malaka.
Sejarah awal emporium Aceh adalah
sejarah penaklukan, sementara dalam hal penghidupan, rakyat Aceh cukup
banyak hidup dari hasil laut. Menangkap ikan, baik di laut atau di
sungai menjadi keseharian bagi rakyat Aceh. Setelah nelayan, orang Aceh
banyak yang hidup sebagai perajin, terutama logam. Pada masanya rakyat
Aceh menghasilakan kerajinan logam yang cukup berkualitas.
Senjata-senjata besi, meriam, dan beberapa alat dari emas, kuningan dan
tembaga menjadi kerajinan utama Aceh. Lalu ada pula segolongan rakyat
yang menjadi tukang kayu. Sehari-hari mereka mengerjakan pembangunan
rumah, kapal-kapal nelayan, dan juga kapal perang.
Sistem kemasyarakatan di Aceh pun bisa
dikatakan cukup tinggi. Ada kelompok bangsawan kerajaan yang bergelar
Tuanku dan golongan Uleebalang yang bergelar Teuku. Semetara itu
dikalangan ulama’ dipakai gelar Teungku. Di lapisan bawah adalah rakyat
kebanyakan yang terbagi lagi menjadi beberapa sebutan. Misalnya ureung
tunong yang tinggal di pedalaman atau daerah gunung, ureung duson dan
baroh yang tinggal di desa-desa dan pesisir, serta ureung banda yang
tinggal di kota. Meskipun perkawinan antara golongan atas dan bawah
jarang terjadi, namun susunan masyarakat Aceh bukanlah sistem yang
hierarkis kaku. Sebagai Kesultanan maritim orang-orang Aceh amat terbuka
dalam menerima perubahan-perubahan.
Namun tentu saja, sebagai penguasa
selat, perekonomian Aceh bertumpu pada bidang perdagangan. Sejak masa
Sultan Al-Mukammal Aceh membuka empat pelabuhan utamanya untuk
perdagangan internasional. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah daerah
taklukkan di Pantai Cermin, Pidir, Daya, dan Pasai. Komoditas dagang
utama dari Aceh adalah lada. Berbagai bangsa berdatangan untuk berdagang
di Aceh. Diantaranya dari Parsi, Arab, Cina, Siam, Benggala, Turki, dan
bahkan sekelompok kecil pedagang Portugis dan Spanyol.
Konfrontasi terus-menerus yang
dilncarkan Aceh terhadap kedudukan Portugis di Malaka menjadikan Selat
Malaka seringkali tidak aman untuk dilayari. Dan bersamaan dengan itu,
nun jauh di selatan Kesultanan Banten mulai tumbuh dan meramaikan Selat
Sunda. Hal ini membuat jalur pelayaran beralih menyusuri pantai barat
Sumatra. Segeralah pelabuhan-pelabuhan di Pariaman, Indrapura, dan
Selabar menjadi ramai. Sekali lagi hal ini mengalirkan untung tak
terkira bagi Aceh.
Hal seperti ini sangat menguntungkan
bagi politik ekspansi Aceh. Setelah mengkonsolidasi daerah pusat,
kembalilah Sultan Iskandar Muda berpetualang. Nias berhasil ditaklukkan.
Pada 1612 Aru yang sempat memisahkan diri kembali diikat. Setelah itu
berturut-turut Deli, Rokan, dan Kampar menyatakan kesetiaan pada Sultan.
Sementara itu Indragiri dan Jambi terpaksa mengakui hegemoni Aceh dan
rela menjual ladanya untuk Aceh. Ketika Demak sudah compang-camping dan
sekarat, Aceh terus berjaya.
Di bidang urusan dalam negeri Aceh
mengadakan konsolidasi dan strukturisasi birokrat yang tertib. Ada dua
pembagian tugas yang jika sekarang ini kita kenal sebagai lembaga
eksekutif dan legislatif. Sultan tentu saja adalah pemegang kekuasaan
tertinggi di bantu oleh seorang perdana menteri yang membawahi
menteri-menteri dalam mengelola urusan negara. Setingkat dengan perdana
menteri ada Kali Malikon Ade (Qadhi Malikul Adil) yang mengepalai
Mahkamah Agung dibantu para muftinya. Untuk urusan militer didirikan
Balai Laksamana yang dikepalai seorang laksamana yang mengatur angkatan
darat dan laut sekaligus. Dibentuk pula Menteri Dirham yang menguasai
keuangan kesultanan. Dn untuk mengatur administrasi negara dibentuklah
Keureukon Katibulmuluk atau sekretaris negara. Urusan administrasi
sendiri dipeganga oleh dua orang pejabat yaitu Sri Indrasura dan Sri
Indramuda.
Sementara itu untuk membantu Sultan
diadakan pula semacam majelis legislatif yang dinamakan Balairung.
Lembaga ini terdiri atas empat uleebalang terbesar Aceh. Ada pula Balai
Gedeng yang terdiri dari 22 ulama’ terkemuka dan Balai Mahkamah Rakyat
beranggotakan 73 wakil dari berbagai mukim (semacam distrik). Lalu untuk
mengurusi daerah-daerah taklukan diluar wilayah inti terdapat lembaga
khusus yang diberi mandat oleh Sultan.
Di luar negeri sendiri, Kesultanan Aceh
banyak menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Islam di Timur
Tengah dan beberapa kerajaan di Eropa. Turki diketahui sebagai sahabat
Aceh yang cukup loyal. Beberapa kali Turki yang ketika itu dikuasai
Dinasti Ustmaniah ikut membantu konfrontasi Aceh dengan Portugis.
Bantuan-bantuan itu terutama senjata-senjata atau kiriman para
teknisi-teknisi Turki yang cakap. Kesultanan Aceh juga diketahui
berusaha menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Inggris. Selain dengan
kedua kekuatan dunia itu, Aceh setidaknya pernah membuat kontak dengan
Prancis, Belanda, dan tentu saja Cina.
Pada 1629 sekali lagi Sultan Iskandar
Muda yang ambisius itu mengadakan serangan ke Malaka. Dan seperti yang
sudah-sudah, armada militer Aceh pulang dengan tangan hampa. Setelah itu
Sultan Iskandar Muda sepertinya sudah kapok. Selama 7 tahun terakhir
masa pemerintahannya tak sekalipun armada Aceh dikirim ke Malaka. Bisa
dikatakan masa ini adalah “a turning point in Aceh’s history” dalam
bahasan Bernard H.M. Vlekke. Meski begitu Sultan tetap keras dan tak mau
berkompromi dalam politiknya. Baginya Kesultanan Aceh harus tetap
berwibawa di mata kawan dan lawan. Namun ironisnya, angkatan perang
Kesultanan Aceh dalam keadaan kritis.
Tahun 1636 Sultan Iskandar Muda wafat
membawa obsesinya menaklukn Malaka yang tak pernah kesampaian.
Penggantinya adalah menantunya sendiri yang bergelar Sultan Iskandar
Tsani Alaudin Mughayat Syah. Sang menanti ternyata tak seteguh
mertuanya. Ditangan Sultan Iskandar Tsani politik Aceh menjadi lunak.
Baginya yang terpenting adalah mengembangkan pembangunan dan pendidikan
Islam. Tidak seperti pendahulunya yang tak rela Malaka sampai dikalahkan
oleh orang selain orang Aceh, Iskandar Tsani justru membiarkan Belanda
menelikungnya dan merebut Malaka. Apa mau dikata, keadaan angkatan
perang Aceh sangat tidak memadai untuk menjalankan poliik ekspansi kolot
ala Sultan-sultan pendahulunya.
Aceh sepeninggal Iskandar Muda adalah
raksasa yang kehabisan tenaga, kelelahan dan akhirnya tidur. Setelah
beberapa wilayahnya digerogoti Belanda, Sultan Iskandar Tsani wafat pada
1641. Penggantiny adalah putrinya yang merupakan Sultan wanita pertama
dalam sejarah Kesultanan Aceh. Ia bergelar Sri Sultan Tajul Alam
Safiatuddin Syah Berdaulat Zillulahi fil Alam binti Sultan Raja Muda
johan Berdaulat. Ia memerintah selama 34 tahun sejak 1641 hingga 1675.
Sama seperti ayahnya, Sultanah Tajul Alam tidak terlalu hirau pada
bidang militer. Aceh pada masa itu bukan lagi Kesultanan yang ekspansif.
Alih-alih memperkuat angkatan perangnya untuk berekspansi, kondisi
dalam negeri Aceh sendiri bisa dikatakan sudah rapuh.
Untunglah Sultanah Tajul Alam cukup
piawai dalam menjaga keseimbangan politik. Dari dalam negerinya saja ia
harus berhadapan dengan ulama-ulama yang tidak setuju ia menjadi Sultan.
Aksi ini seringkali ditunggangi oleh golongan uleebalang yang gila
kekuasaan. Intervensi dari pihak asing pun seringkali mengambil
kesempatan dari situasi sulit ini. Belum lagi selesai dengan urusan
dalam negerinya, Sultanah Tajul Alam masih harus berhadapan dengan VOC
Belanda yang mulai memutilasi wilayah-wilayah taklukan. VOC dengan
imbalan monopoli dagang dengan senang hati memberikan bantuan bagi
daerah-daerah luar untuk melepaskan diri dari hegemoni Aceh.
Setelah mengarungi masa-masa sulit
akhirnya Sultanah Tajul Alam wafat pada 23 Oktober 1675. Ia wafat dengan
gemilang setelah berhasil mempertahankan keutuhan Kesultanan Aceh.
Meskipun pada masanya wilayah Kesultanan Aceh hanya menyisakan wilayah
intinya di bagian utara Sumatra, ia tetap dikenang dan memiliki wibawa
tinggi karena telah sukses menghadang VOC.
Sepeninggal Sultanah Tajul Alam Aceh
benar-benar talah tertidur. Para sultan setelahnya tak banyak
mencatatkan prestasi yang dapat diperhitungkan. Wibawa Aceh dapat
dikatakan telah habis. Sultan seperti hanya sebagai simbol saja, tak
lebih. Kaum uleebalanglah yang menentukan haluan politik Aceh. Barulah
pada paruh terakhir Abad 19 Aceh dengan sisa-sisa kekuatannya bangun
karena diusik oleh Hindia Belanda. Bahkan Aceh menjadi “daerah luar”
Hindia Belanda yang paling gigih dan paling sulit di taklukkan. Namun
akhirnya Kesultanan Aceh runtuh juga. Intrik-intrik politik dikalangan
uleebalang dan golongan ulama’ mempersulit posisi Aceh dan akhirnya
runtuh dalam satu gebrakan oleh Hindia Belanda.
Daftar Pustaka :Ahmad, Zakaria. 1972. Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675. Medan : Penerbit Monora.
Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Poesponegoro, Marwati Djoened, et al. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Edisi Pemutakhiran. Jakarta : Balai Pustaka.
Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat; Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Posting Komentar