1. Pada abad ke-XIX Belanda menghadapai perlawanan gigih dari
rakyat Kesultanan Aceh (Sumatera Utara). Dalam usahanya memecahkan
konflik Aceh dengan Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara
lainnya termasuk dari Rusia juga.
Pada tahun 1879 selagi kapal layar Rusia “Vsadnik” melabuh di Penang,
delegasi yang terdiri dari wakil-wakil pemberontak Aceh menghubungi
kapten kapal tersebut dengan “permohonan kepada Yang Mulia Sang
Pemimpin Imperator agar negara mereka memperoleh kewarganegaraan
Rusia”. Kementrian Kelautan melapor kepada Tzar mengenai permohonan
tersebut yang memerintahkan mengalihkannya kepada Kementrian Luar
Negeri. Jawaban Kementrian Luar Negeri kepada Kementrian Kelautan
menyatakan bahwa pada saat ini Menteri Luar Negeri berpendapat bahwa
tidak mungkin “membahas masalah mengenai masuknya rakyat Aceh menjadi
warganegara Rusia berhubung di kemudian hari hal tersebut dapat
menimbulkan kesalahpahaman diantara Pemerintahan Imperator dengan
Belanda”.
Pada tanggal 15 Pebruari 1904, yang mengemban tugas Konsul Rusia di
Singapura, Rudanovskiy memberitahukan bahwa Sultan Aceh menyampaikan
kepada Konsulat surat permohonan yang dialamatkan kepada Nikolay II
tentang permohonan untuk menerima daerah kekuasaannya dibawah
perlindungan Rusia.
2. pada tahun 1873-1904 dalam upaya mencegah direbutnya Aceh oleh
Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lain, termasuk Rusia.
Pada tahun 1879 perjuang-pejuang Aceh menghubungi kapten kapal Rusia
“Vsadnik” yang sedang berlabuh di Penang dan memohon untuk disampaikan
kepada Imperator Rusia agar diberikan perlindungan. Pada tanggal 15
Februari 1904 melalui Konsul Rusia di Singapura, Rudanovsky, Sultan
Aceh memohon kepada Nikolay II untuk menerima Aceh sebagai wilayah di
bawah perlindungan Rusia. Setelah pembahasan di tingkat pemerintah
Rusia, diputuskan bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan mengingat
akan mengganggu hubungan antara pemerintahan Imperator Rusia dengan
Kerajaan Belanda.
3. Pada waktu Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, Kaisar Jepang
memerintahkan melalui kementerian Luar Negeri Jepang dan mengutus
jenderal Shaburo I I no dengan stafnya mencari keturunan Sultan Aceh
Muhammad Daudsyah. Dia bertemu dan diterima secara resmi dengan Tuanku
Raja Ibrahim di Lameulo, Pidie pada 1943. Atas dasar Kaisar Jepang
teringat atas surat ayahnya yang dikirim pada Kaisar Jepang. Segera
setelah Jepang menang perang melawan Rusia pada tahun 1905, di Selat
Tsushima. Surat ini menjadi salah satu sebab Sultan Muhammad Daudsyah
dibuang dari Aceh pada tahun 1907 dan tidak kembali sampai akhir
hayatnya.
4. Sultan Alaidin Muhammad Daud syah Memerintah tanpa Istana III
Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah, Berkubur di Rantau Orang
[ penulis: Dr Hasballah Saad | topik: Budaya ]
SETELAH Sultan berdamai dengan Belanda (1903), beberapa saat menetap
di Koetaraja, namun tidak di Meuligoe Kerajaan. Karena saat itu telah
dirampas dan diduduki Belanda sejak 1874. Selama memerintah, Sultan
tak pernah memiliki istana sebagai Pusat Pemerintahan dan Kedudukan
Resmi Sultan.
Harta pusaka pun telah berserakan dimana mana, hingga sejumlah benda
benda penting yang berharga pun kini telah menghiasi ruang muzium di
seluruh dunia, seperti di Negeri Belanda, di Portugal, di Perancis, di
Malaysia, dan dimana mana. Kota Jogjakarta pun, konon kini menyimpan
meriam buatan pertama pasukan Turki di Aceh dengan motif Pucok Reubong.
Meriam Pucok Reubong ini adalah produk domestik Aceh pertama dibawah
asistensi ahli meriam dari Turki. Ada juga Meriam Lada Sicupak hadiah
Sultan Selim II, melalui Panglima Nak Dum, utusan Aceh ke Turki waktu
itu, pada abad ke 16 lalu, kini juga tidak diketahui keberadaannya.
Sebagai tawanan Belanda, Sultan menyatakan kepada kawan seperjuangan
dan para pemimpin gerilya yang masih aktif, kalau dia tak pernah
menyerahkan kedaulatan negara kepada Belanda. Sultan menyerah dan
berdamai dalam status sebagai rakyat biasa––istilah saat itu, menyerah
sebagai anak negeri, Sementara Cap Sikureueng telah diserahkan kepada
Tgk Syik di Tiro Mahyeddin (Teungku Syik Mayed, suami Pucut Mirah
Gambang putri Cut Nyak Dhien) yang berkedudukan memimpin prang
meneruskan perjuangan almarhun ayahnya Tgk Syech Saman di Tiro, di
Gunong Alimon, pedalaman Tangse di Pidie.
Sultan terus melakukan korespondensi rahasia dengan beberapa
perwakilan negara asing di Singapura, antara lain kedutaan Inggris,
Kedutaan Amerika, Kedutaan Turki, India, dan lainnya. Namun kemudian
diketahui Belanda, maka Sultan dipisahkan dengan rakyat pengikutnya
yang setia. Awak tahun 1904, beliau dibuang ke Ambon.
sumber:
http://www.indonesia.mid.ru/
http://www.kemlu.go.id/moscow/Pages/
http://kuartil.wordpress.com/2011/06/27/nasib-putra-mahkota-keturunan-s
http://www.acehforum.or.id/archive/index.php/t-16547.html
Home »
Sejarah Aceh
» catatan berserakan : Jejak diplomasi Sulthan Muhammad Daud Syah
catatan berserakan : Jejak diplomasi Sulthan Muhammad Daud Syah
Written By Unknown on Senin, 11 Februari 2013 | 03.56
Label:
Sejarah Aceh
+ komentar + 1 komentar
Mari kite jaga besama
Posting Komentar