Latest Post

"Tragedi Cot Pulot Jeumpa Februari 1955"

Written By Unknown on Jumat, 15 Februari 2013 | 17.44

SAYA punya keyakinan, orang-orang tua di Cot Pulot Jeumpa Aceh Besar tidak bisa melupakan tragedi Cot Pulot, Jeumpa dan Leupeung yang terjadi 56 tahun. Tragedi terbesar pada masa orde lama ini diawali dari bentakan militer Indonesia yang menyeret warga berdiri berjejer di pantai.

Dalam amuk kemarahan yang membara-bara, prajurit TNI mengiring anak-anak, pemuda dan orangtua ke pantai Samudera Indonesia. Mereka diperintahkan menghadap lautan lepas. Beberapa detik kemudian, tanpa ampun, moncong senjata otomatis memuntahkan ratusan peluru. Puluhan tubuh pria tewas membasahi pasir. Dalam sejarah kelam, fakta ini dikenal dengan peristiwa Cot Pulot Jeumpa di Gampông Cot Pulot dan Gampông Jeumpa Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar pada Februari 1955.

Insiden yang meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan diawali dari sehari sebelumnya sebuah truk militer membawa berdrum-drum minyak dan 16 tentara melintasi Cot Pulot. Mendekat jembatan Krueng Raba Leupung, tentara Darul Islam yang dipimpin oleh Pawang Leman menghadang. Pawang Leman adalah mantan camat setempat yang pada zaman revolusi Indonesia berpangkat mayor.

Tembakan beruntun menyebabkan truk terbakar. Semua prajurit Batalyon B anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib berguguran dijilat kobaran api. Tentara Darul Islam menyebut pasukan Republik Indonesia dengan Tentara Pancasila. Esoknya, satu peleton (berkekuatan 20-40) Tentara Republik merazia pelaku. Razia dari rumah ke rumah tidak membawa hasil. Kekesalan tentara sudah di ubun-ubun. Anak-anak hingga kakek yang ditemukan di jalan atau tempat bekerja digiring ke pantai.

Penembakan pertama pada Sabtu, 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh Batalyon 142 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Jeumpa. Penembakan ketiga pada tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala. Akibatnya 99 jiwa meregang nyawa dengan rincian di Cot Jeumpa 25 jiwa, di Pulot Leupung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang wafat yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun. Pembantaian ini sebagai balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam. Indonesia menutup rapat-rapat pembantai warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara.



Koran Peristiwa

Suasana kekalutan itu semakin gempar dengan pemberitaan surat kabar Peristiwa pada awal Maret 1955. Isi koran yang terbit di Kutaradja ini dikutip oleh berbagai media ibu kota di Jakarta dan internasional. Peristiwa memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama. Disebutkan pada tanggal 26 Februari 1955 kira-kria jam 12 siang WSu (Waktu Sumatera) sepasukan alat-alat negara menangkap seluruh lelaki penduduk Cot Jeumpa yang didapati di rumah. Mereka dikumpulkan di pinggir laut. Lalu tanpa periksa, seluruh pria itu ditembak hingga semua rebah bermandikan darah.

Peristiwa mewartakan pada tanggal 28 Februari 1955, kira-kira jam 12 siang WSu, orang berpakain seragam menembak mati 64 warga Leupung. Mereka ditangkap di rumah, sedang melempar jala, memancing dan lain-lain. Kemudian dikumpulkan di pinggir laut. Peristiwa memberitakan, mayat-mayat yang bergelimpangan itu dikuburkan dalam dua lubang besar. Peristiwa memuat nama korban lengkap dengan umur dan tempat tinggal

Tentu militer Indonesia menolak publikasi Peristiwa. Komandan Tentara Teritorium I Bukit Barisan Pada tanggal 10 Maret 1955 memberi penjelasan kejadian sebagai berikut. Pada tanggal 22 Februari 1955 sepasukan tentara yang ditempatkan di Lhong berangkat pagi-pagi jam 06.30 WSu, 16 tentara dari Peleton 32 Batalyon 142 menuju Kompi II di Lhok Nga untuk mengambil bahan makanan dan bensin. Pada sorenya satu satu truk membawa perbekalan dan bensin menuju Lhoong.

Ibarat membungkus bangkai, pasti tercium bau. Pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa. Koran yang terbit di Jalan Merduati No. 98 Kutaradja menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan itu. Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Acha tidak kehilangan akal dengan menyewa boat nelayan. Tugas jurnalistik ditunaikan dengan baik. Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”. Peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.

Tak ayal, berita ini dikutip oleh beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya. kemudian dikutip oleh media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang. Warga Aceh di Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.

Berdasarkan pemberitaan Peristiwa yang dirintis pada awal tahun 1954, Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat mengetahui sepak terjang Indonesia. Diplomat cerdas ini menilai eksekusi massa itu adalah genosida. Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 semakin yakin, Aceh yang diibaratkan sebagai bagian dari puluhan kamar yang berteduh dalam rumah bernama Indonesia sudah waktunya dipertanyakan.

Berhasilkah Hasan Tiro menempatkan kasus Cot Jeumpa, Pulot dan Leupeung dalam agenda PBB? Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera Utara seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita menulis kasus yang dilapor oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB. “Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional,” tulis Zakaria M. Passe di Majalah Tempo edisi 24 Oktober 1987.

Kekerasan oleh negara pada tahun 1955 terulang lagi di Aceh pada era reformasi seperti pembantaian di Beutong Ateueh, Simpang KKA, Bumi Flora dan lain-lain. Pembantaian demi pembantaian menjadi pelajaran agar hal-hal ini mesti dicegah dengan membangun konstruksi komunikasi. Tidak ada manusia yang bisa mencegah gempa bumi dan tsunami. Namun sebaliknya, masyarakat bisa mencegah konflik bersenjata.

Pada dimensi lain, peran media seperti yang dilakukan oleh Pak Acha melalui koran Peristiwa dalam merawat ingatan generasi muda masa kini dan depan tetap mendapat porsi tersendiri. Korban kekerasan tidak bisa melupakan masa-masa pahit yang dialaminya. Korban kekerasan berpeluang untuk memaafkan masa lalu sambil mencoba berdamai dengan masa kini untuk merajut masa depan. Sedangkan bagi masyarakat, masa lalu adalah cermin untuk tidak mengulangi kesalahan lalu. Jika masa lalu diibaratkan seperti spion roda empat yang berukuran kecil dan diletakan di sisi kiri dan kanan serta dilirik sejenak saja, maka kaca depan kendaraan adalah masa kini dan masa depan yang mesti ditatap serius.

Penulis :
Murizal Hamzah
Penulis adalah editor Buku Biografi Wakapolri Jusuf Manggabarani, “Cahaya Bhayangkara”.

KESULTANAN ACEH

Written By Unknown on Selasa, 12 Februari 2013 | 03.08

Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Di awal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Pedir, Pasai, Deli dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.

Masa Kejayaan

Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.

Kerajaan Aceh memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain, baik dari Barat maupun dari Timur. Pertukaran diplomat dan kerja sama ekonomi dengan Turki telah terbina sejak tahun 1582. Menurut Hikayat Aceh, Kerajaan Aceh telah mengadakan perjanjian politik dan dagang dengan Kamboja, Champa, Chiangmai, Lamer, Pashula, dan Cina. Selain itu, Aceh juga memiliki hubungan diplomatik dengan Prancis, Inggris, dan Belanda. Kerajaan Aceh mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Iskandar Muda, pada tahun 1636. Penggantinya Sultan Iskandar Thani (1637-1641), melakukan perluasan wilayah seperti yang dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya. Setelah itu, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Faktor lainnya yaitu perselisihan yang terus terjadi antara golongan Teuku dan golongan Tengku. Teuku adalah golongan bangsawan, sedangkan Tengku adalah pemuka agama. Kerajaan Aceh bertahan selama empat abad, sampai Belanda mengalahkannya dalam Perang Aceh (1873-1912).



Kemunduran

Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.

Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh dan digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda. Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang. Pada tahun 1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di ibukota Hindia Timur Belanda (Indonesia) segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan dari Soekarno kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu.
  
Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.


Gelar

  • Teungku
  • Tuanku
  • Teuku
  • Cut
  • Laksamana
  • Panglima Sagoe
  • Uleebalang
  • Meurah

Lain-lain

  • Dalam
  • Istana Darud Donya
  • Cap Sikureueng (cap sembilan)
  • Meuligoe
  • Gajah Putih
  • Pasukan Gajah
Silsilah 

Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).


Periode Pemerintahan
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-20 M. Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35 orang sultan dan sultanah.

Wilayah kekuasaan
Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.

Struktur pemerintahan
Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan Aceh sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis pada al-Quran dan hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Dalam struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi yang membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe (negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan mukim yang terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang mengurus masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan para teungku.

Kehidupan Sosial Budaya
a. agama
Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.
Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.
b. Struktur sosial
Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.
c. Kehidupan sehari-hari
Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling terkenal adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya adalah Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.

Sumber:
belanegarari.wordpress.com
wikipedia.com

Selayang Pandang Kesultanan Aceh Darussalam

Secara pasti, perihal kapan awalnya Aceh menjadi sebuah kerajaan atau kesultanan belumlah dapat diungkap secara jelas. Sejauh yang dapat ditelusuri dari berita-berita Cina, Arab, India, dan bahkan Eropa (para sejarawan dan arkeolog pun masih bersilang pandapat) dapat diketahui bahwa pesisir utara pulau Sumatra memang memiliki banyak kota pelabuhan. Namun dari kesemuanya, menurut sejarawan Denys Lombard, masih juga terdapat kesimpangsiuran, apalagi perihal masa awal kesultanan Aceh. Data-data yang lebih terang tentang Aceh muncul ketika memasuki abad ke 16.
Meski begitu, setidaknya dapat diketahui bahwa sebelum memasuki abad ke 16 itu, telah muncul tiga kerajaan yang cukup kuat di pesisir utara Sumatra. Pasai, Pidir, dan Aceh. Menurut Tome Pires, pada waktu itu Aceh merupakan kekuatan yang “masih muda” jika dibandingkan dengan Pasai dan Pidir. Bahkan sebelum 1520, Aceh masih merupakan daerah bawahan Pidir. Adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang memimpin Aceh untuk merdeka dari Pidir.
Sultan Brahim (sebutan orang Portugis untuk Sultan Ali) kemudian menjalankan politik ekspansi dan mulai membangun imperium Kesultanan Aceh Darussalam. Belum diketahui kapan Sultan Brahim naik tahta, tapi diketahui bahwa ia menyatakan merdeka dari Pidir pada 1520 dan mulai Daya pada tahun itu juga. Bahkan tujuh tahun sebelumnya, Aceh menyerang Deli. Setalah mengepungnya selama enam minggu, akhirnya Deli jatuh. Pada tahun 1524 Pasai dan Pidir malah berhasil ditaklukkannya. Tak berselang lama, setelah memantapkan kekuasaannya, Aceh bersiap melawan Portugis di Malaka. Mei 1521, armada Jorge de Brito harus menerima kekalahan menghadapi armada Kesultanan Aceh.
Aceh terus berjaya. Tahun 1537 Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Kahar naik tahta. Sama seperti pendahulunya, Aceh tetap menjalankan politik ekspansinya, bahkan semakin gencar. Hubungan bilateral dengan kerajaan-kerajaan Timur Tengah digiatkan terutama dengan Mesir, Abbyssinia, dan Turki. Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Kahar inilah berturut-turut Batak, Aru, dan Barus ditaklukkan.
Berkali-kali Aceh mencoba menghalau kekuatan Portugis di Malaka. Tercatat pada 1537, 1547, dan 1568 Malaka diserang Aceh. Penyerangan ini juga melibatkan tentara kerajaan Turki yang diperbantukan. Setelah melewati masa-masa perang yang panjang melawan Portugis, Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Kahar  mangkat pada 1571. Penggantinya adalah Sultan Alaudin Mansur Syah yang memerintah hingga tahun 1585. Selanjutnya pada periode 1585-1588 naiklah Sultan Alaudi Ri’ayat Syah ibnu Sultan Munawar Syah dan selanjutnya Sulatan Alaudin Ri’ayat Syah ibnu Firman Syah.
Sejak masa itu, mulailah para kompeni Inggris dan Belanda memasuki Nusantara. James Lancester singgah di Aceh pada 1599 dan kembali lagi pada 1602. Juga orang-orang Belanda di bawah Cornelis de Houtman pada 30 Juni 1599. Saat itu Aceh terkenal akan hasil ladanya. Sultan Munawar Syah wafat pada 1604 dan digantikan Sultan Muda atau Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Mukammal hingga wafat pula tahun 1607.
Setelah wafatnya Sultan Muda, naiklah Sulatan Iskandar Muda dan dimulailah masa keemasan Kesultanan Aceh. Semasa pemerintahan Iskandar Muda wilayah Aceh telah meliputi Samudera Pasai, Pidir, Aru, Tiku, Deli, Pasaman, Lamuri, Daya, dan beberapa koloni di wilayah semenanjung Malaka. Dapat dipastiakan bahwa Malaka-Portugis adalah sebuah kegagalan sampai saat itu. Tetapi Sultan tentu tak mau kehilangan kontrol terhadap Selat Malaka yang ramai itu. Setidaknya Denys Lombard mencatat bahwa Kesultanan Aceh dapat menguasai Batu Sawar, Kedah, dan Pahang. Otomatis dengan begitu meskipun Malaka tetap berada dalam penguasaan Portugis, tetapi Sultan Iskandar Mudalah yang menguasai jaringan perdagangan di Selat Malaka.
Sejarah awal emporium Aceh adalah sejarah penaklukan, sementara dalam hal penghidupan, rakyat Aceh cukup banyak hidup dari hasil laut. Menangkap ikan, baik di laut atau di sungai menjadi keseharian bagi rakyat Aceh. Setelah nelayan, orang Aceh banyak yang hidup sebagai perajin, terutama logam. Pada masanya rakyat Aceh menghasilakan kerajinan logam yang cukup berkualitas. Senjata-senjata besi, meriam, dan beberapa alat dari emas, kuningan dan tembaga menjadi kerajinan utama Aceh. Lalu ada pula segolongan rakyat yang menjadi tukang kayu. Sehari-hari mereka mengerjakan pembangunan rumah, kapal-kapal nelayan, dan juga kapal perang.
Sistem kemasyarakatan di Aceh pun bisa dikatakan cukup tinggi. Ada kelompok bangsawan kerajaan yang bergelar Tuanku dan golongan Uleebalang yang bergelar Teuku. Semetara itu dikalangan ulama’ dipakai gelar Teungku. Di lapisan bawah adalah rakyat kebanyakan yang terbagi lagi menjadi beberapa sebutan. Misalnya ureung tunong yang tinggal di pedalaman atau daerah gunung, ureung duson dan baroh yang tinggal di desa-desa dan pesisir, serta ureung banda yang tinggal di kota. Meskipun perkawinan antara golongan atas dan bawah jarang terjadi, namun susunan masyarakat Aceh bukanlah sistem yang hierarkis kaku. Sebagai Kesultanan maritim orang-orang Aceh amat terbuka dalam menerima perubahan-perubahan.
Namun tentu saja, sebagai penguasa selat, perekonomian Aceh bertumpu pada bidang perdagangan. Sejak masa Sultan Al-Mukammal Aceh membuka empat pelabuhan utamanya untuk perdagangan internasional. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah daerah taklukkan di Pantai Cermin, Pidir, Daya, dan Pasai. Komoditas dagang utama dari Aceh adalah lada. Berbagai bangsa berdatangan untuk berdagang di Aceh. Diantaranya dari Parsi, Arab, Cina, Siam, Benggala, Turki, dan bahkan sekelompok kecil pedagang Portugis dan Spanyol.
Konfrontasi terus-menerus yang dilncarkan Aceh terhadap kedudukan Portugis di Malaka menjadikan Selat Malaka seringkali tidak aman untuk dilayari. Dan bersamaan dengan itu, nun jauh di selatan Kesultanan Banten mulai tumbuh dan meramaikan Selat Sunda. Hal ini membuat jalur pelayaran beralih menyusuri pantai barat Sumatra. Segeralah pelabuhan-pelabuhan di Pariaman, Indrapura, dan Selabar menjadi ramai. Sekali lagi hal ini mengalirkan untung tak terkira bagi Aceh.
Hal seperti ini sangat menguntungkan bagi politik ekspansi Aceh. Setelah mengkonsolidasi daerah pusat, kembalilah Sultan Iskandar Muda berpetualang. Nias berhasil ditaklukkan. Pada 1612 Aru yang sempat memisahkan diri kembali diikat. Setelah itu berturut-turut Deli, Rokan, dan Kampar menyatakan kesetiaan pada Sultan. Sementara itu Indragiri dan Jambi terpaksa mengakui hegemoni Aceh dan rela menjual ladanya untuk Aceh. Ketika Demak sudah compang-camping dan sekarat, Aceh terus berjaya.
Di bidang urusan dalam negeri Aceh mengadakan konsolidasi dan strukturisasi birokrat yang tertib. Ada dua pembagian tugas yang jika sekarang ini kita kenal sebagai lembaga eksekutif dan legislatif. Sultan tentu saja adalah pemegang kekuasaan tertinggi di bantu oleh seorang perdana menteri yang membawahi menteri-menteri dalam mengelola urusan negara. Setingkat dengan perdana menteri ada Kali Malikon Ade (Qadhi Malikul Adil) yang mengepalai Mahkamah Agung dibantu para muftinya. Untuk urusan militer didirikan Balai Laksamana yang dikepalai seorang laksamana yang mengatur angkatan darat dan laut sekaligus. Dibentuk pula Menteri Dirham yang menguasai keuangan kesultanan. Dn untuk mengatur administrasi negara dibentuklah Keureukon Katibulmuluk atau sekretaris negara. Urusan administrasi sendiri dipeganga oleh dua orang pejabat yaitu Sri Indrasura dan Sri Indramuda.
Sementara itu untuk membantu Sultan diadakan pula semacam majelis legislatif yang dinamakan Balairung. Lembaga ini terdiri atas empat uleebalang terbesar Aceh. Ada pula Balai Gedeng yang terdiri dari 22 ulama’ terkemuka dan Balai Mahkamah Rakyat beranggotakan 73 wakil dari berbagai mukim (semacam distrik). Lalu untuk mengurusi daerah-daerah taklukan diluar wilayah inti terdapat lembaga khusus yang diberi mandat oleh Sultan.
Di luar negeri sendiri, Kesultanan Aceh banyak menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Islam di Timur Tengah dan beberapa kerajaan di Eropa. Turki diketahui sebagai sahabat Aceh yang cukup loyal. Beberapa kali Turki yang ketika itu dikuasai Dinasti Ustmaniah ikut membantu konfrontasi Aceh dengan Portugis. Bantuan-bantuan itu terutama senjata-senjata atau kiriman para teknisi-teknisi Turki yang cakap. Kesultanan Aceh juga diketahui berusaha menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Inggris. Selain dengan kedua kekuatan dunia itu, Aceh setidaknya pernah membuat kontak dengan Prancis, Belanda, dan tentu saja Cina.
Pada 1629 sekali lagi Sultan Iskandar Muda yang ambisius itu mengadakan serangan ke Malaka. Dan seperti yang sudah-sudah, armada militer Aceh pulang dengan tangan hampa. Setelah itu Sultan Iskandar Muda sepertinya sudah kapok. Selama 7 tahun terakhir masa pemerintahannya tak sekalipun armada Aceh dikirim ke Malaka. Bisa dikatakan masa ini adalah “a turning point in Aceh’s history” dalam bahasan Bernard H.M. Vlekke. Meski begitu Sultan tetap keras dan tak mau berkompromi dalam politiknya. Baginya Kesultanan Aceh harus tetap berwibawa di mata kawan dan lawan. Namun ironisnya, angkatan perang Kesultanan Aceh dalam keadaan kritis.
Tahun 1636 Sultan Iskandar Muda wafat membawa obsesinya menaklukn Malaka yang tak pernah kesampaian. Penggantinya adalah menantunya sendiri yang bergelar Sultan Iskandar Tsani Alaudin Mughayat Syah. Sang menanti ternyata tak seteguh mertuanya. Ditangan Sultan Iskandar Tsani politik Aceh menjadi lunak. Baginya yang terpenting adalah mengembangkan pembangunan dan pendidikan Islam. Tidak seperti pendahulunya yang tak rela Malaka sampai dikalahkan oleh orang selain orang Aceh, Iskandar Tsani justru membiarkan Belanda menelikungnya dan merebut Malaka. Apa mau dikata, keadaan angkatan perang Aceh sangat tidak memadai untuk menjalankan poliik ekspansi kolot ala Sultan-sultan pendahulunya.
Aceh sepeninggal Iskandar Muda adalah raksasa yang kehabisan tenaga, kelelahan dan akhirnya tidur. Setelah beberapa wilayahnya digerogoti Belanda, Sultan Iskandar Tsani wafat pada 1641. Penggantiny adalah putrinya yang merupakan Sultan wanita pertama dalam sejarah Kesultanan Aceh. Ia bergelar Sri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zillulahi fil Alam binti Sultan Raja Muda johan Berdaulat. Ia memerintah selama 34 tahun sejak 1641 hingga 1675. Sama seperti ayahnya, Sultanah Tajul Alam tidak terlalu hirau pada bidang militer. Aceh pada masa itu bukan lagi Kesultanan yang ekspansif. Alih-alih memperkuat angkatan perangnya untuk berekspansi, kondisi dalam negeri Aceh sendiri bisa dikatakan sudah rapuh.
Untunglah Sultanah Tajul Alam cukup piawai dalam menjaga keseimbangan politik. Dari dalam negerinya saja ia harus berhadapan dengan ulama-ulama yang tidak setuju ia menjadi Sultan. Aksi ini seringkali ditunggangi oleh golongan uleebalang yang gila kekuasaan. Intervensi dari pihak asing pun seringkali mengambil kesempatan dari situasi sulit ini. Belum lagi selesai dengan urusan dalam negerinya, Sultanah Tajul Alam masih harus berhadapan dengan VOC Belanda yang mulai memutilasi wilayah-wilayah taklukan. VOC dengan imbalan monopoli dagang dengan senang hati memberikan bantuan bagi daerah-daerah luar untuk melepaskan diri dari hegemoni Aceh.
Setelah mengarungi masa-masa sulit akhirnya Sultanah Tajul Alam wafat pada 23 Oktober 1675. Ia wafat dengan gemilang setelah berhasil mempertahankan keutuhan Kesultanan Aceh. Meskipun pada masanya wilayah Kesultanan Aceh hanya menyisakan wilayah intinya di bagian utara Sumatra, ia tetap dikenang dan memiliki wibawa tinggi karena telah sukses menghadang VOC.
Sepeninggal Sultanah Tajul Alam Aceh benar-benar talah tertidur. Para sultan setelahnya tak banyak mencatatkan prestasi yang dapat diperhitungkan. Wibawa Aceh dapat dikatakan telah habis. Sultan seperti hanya sebagai simbol saja, tak lebih. Kaum uleebalanglah yang menentukan haluan politik Aceh. Barulah pada paruh terakhir Abad 19 Aceh dengan sisa-sisa kekuatannya bangun karena diusik oleh Hindia Belanda. Bahkan Aceh menjadi “daerah luar” Hindia Belanda yang paling gigih dan paling sulit di taklukkan. Namun akhirnya Kesultanan Aceh runtuh juga. Intrik-intrik politik dikalangan uleebalang dan golongan ulama’ mempersulit posisi Aceh dan akhirnya runtuh dalam satu gebrakan oleh Hindia Belanda.
Daftar Pustaka :
Ahmad, Zakaria. 1972. Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675. Medan : Penerbit Monora.
Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Poesponegoro, Marwati Djoened, et al. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Edisi Pemutakhiran. Jakarta : Balai Pustaka.
Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat; Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.


KEWAJIBAN RAKYAT KERAJAAN ISLAM ACEH BANDAR DARUSSALAM

Maka Inilah Pohon (struktur) Kerajaan Aceh Bandar Darussalam

Bismillahirrahmanirrahim, Amma Ba'du

Mulai terdiri Kerajaan Aceh Bandar Darussalam iaitu pada tahun 913 Hijriah pada tanggal 12 Rabi'ul Awwal Hari Ahad bersamaan 23 Julai, 1507. Atas nama yang berbangsawan bangsa Aceh iaitu Paduka Seri Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah Johan Berdaulat...;

Maka pohon kerajaan mulai tersusun oleh yang berbangsawan tersebut hingga sampai pada kerajaan puteranya yang kuat yaitu Paduka Seri Sultan Alauddin Mahmud Al-Qahhar Ali Riayat Syah...;

Kemudian hingga sampai pada masa kerajaan cicitnya yaitu Raja yang lang-gemilang gagah perkasa yang masyhur al-mulaqaab Paduka Seri Sultan Al-Mukarram Sultan Alauddin Mahkota Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah Johan Berdaulat Zilullah Fil Alam...;

Yatiu telah ijmak keputusan sabda muafakat Kerajaan Aceh Bandar Darussalam beserta alim ulamak dan hulubalang dan menteri-menteri...;

Yaitu telah ditetapkan dia dan telah difaftarkan dan yaitu dengan sahih sah dan muktamad dengan memberitahu dan diperintahkan dia dengan mengikut dan menurut menjalankan dan melaksanakan oleh seluruh pegawai-pegawai Kerajaan Aceh Bandar Darussalam dan jajahan takluknya iaitu diwajib difayahkan di atas seluruh rakyat Aceh Bandar Darussalam dan jajahan takluknya...;

Bahawasanya kita semuanya satu negeri bernama Aceh dan berbangsa Aceh dan berbahasa Aceh dan kerajaan Aceh dan alam Aceh...;

Yakni satu negeri satu bangsa dan satu kerajaan dan satu alam dan satu agama yakni Islam dengan mengikut syariah Nabi Muhammad SAW...;

Atas jalan ahlu-Sunnah wal Jamaah dengan mengambil hukum daripada Qur'an dan Hadis dan qias dan ijmak ulamak ahlu-sunnah wal jamaah...;

Dengan hukum dengan adat dengan resam dengan kanun iaitu syarak Allah dan syarak Rasullulllah dan syarak kami...;

Bernaung di bawah Alam Merah Cap Peudeung lukisan warna putih yang berlindung di bawah panji-panji Syariat Nabi Muhammad SAW...;

Dari dunia sampai ke akhirat dalam dunia ini sepanjang masa :

Pertama, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang lelaki lagi mukaallaf dan bukan gila iaitu hendaklah membawa senjata ke mana-mana pergi berjalan siang-malam iaitu pedang atau sikin panjang atau sekurang-kurangnya rincong tiap-tiap yang bernama senjata.
Kedua, tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau baleeh-baleeh atau meunasah maka pada tiap-tiap tihang di atas puting di bawah bara hendaklah di pakai kain merah dan putih sedikit yakni kain putih.
Ketiga, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yaitu bertani utama lada dan barang sebagainya.
Keempat, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh mengajar dan berlajar pandai emas dan pandai besi dan pandai tembaga beserta ukiran bunga-bungaan.
Kelima, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang perempuan yaitu mengajar dan belajar membikin tepun (tenun) bikin kain sutera dan kain benang dan menjaid dan menyulam dan melukis bunga-bunga pada kain pakaian dan barang sebagainya.
Keenam, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar jual-beli dalam negeri dan luar negeri dengan bangsa asing.
Ketujuh, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar ilmu kebal.
Kedelapan, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang laki-laki mulai taklif syarak umur lima belas tahun belajar dan mengajar main senjata dengan pendekar silek dan barang sebagainya.
Kesembilan, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh dengan wajib ain belajar dan megajar ilmu agama Islam syariah Nabi Muhammad SAW atas almariq ( berpakaian ) mazhab ahlu-sunnah wal jamaah r. ah ajmain.
Kesepuluh, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh menjauhkan diri daripada belajar dan mengajar ilmu kaum tujuh puluh dua yang di luar ahli sunnah wal jamaah r. ah ajmain.
Kesebelas, sekalian hukum syarak yang dalam negeri Aceh diwajibkan memegang atas jalan Mazhab Imam Syafi'i r.a. di dalam sekalian hal ehwal hukum syarak syariat Nabi Muhammad SAW. Maka mazhab yang tiga itu apabila mudarat maka dibolehkan dengan cukup syartan ( syarat ). Maka dalam negeri Aceh yang sahih-sah muktamad memegang kepada Mazhab Syafi'i yang jadid.
Keduabelas, sekalian zakat dan fitrah di dalam negeri Aceh tidak boleh pindah dan tidak diambil untuk buat bikin masjid-masjid dan balee-balee dan meunasah-meunasah maka zakat dan fitrah itu hendaklah dibahagi lapan bahagian ada yang mustahak menerimanya masing-masing daerah pada tiap-tiap kampung maka janganlah sekali-kali tuan-tuan zalim merampas zakat dan fitrah hak milik yang mustahak dibahagi lapan.
Ketigabelas, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh membantu kerajaan berupa apa pun apabila fardhu sampai waktu datang meminta bantu.
Keempatbelas, diwajibkan diatas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar mengukir kayu-kayu dengan tulisan dan bunga-bungaan dan mencetak batu-batu dengan berapa banyak pasir dan tanah liat dan kapur dan air kulit dan tanah bata yang ditumbok serta batu-batu karang dihancur semuanya dan tanah diayak itulah adanya.
Kelimabelas, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh belajar dan mengajar Indang Mas di mana-mana tempatnya dalam negeri.
Keenambelas, diwajibkan di atass sekalian rakyat Aceh memelihara ternakan seperti kerbau dan sapi dan kambing dan itik dan ayam tiap-tiap yang halal dalam syarak agama Islam yang ada memberi manfaaf pada umat manusia diambil ubat.
Ketujuhbelas, diwajibkan ke atas sekalian rakyat Aceh mengerjakan khanduri Maulud akan Nabi SAW, tiga bulan sepuluh hari waktunya supaya dapat menyambung silaturrahmi kampung dengan kampung datang mendatangi kunjung mengunjung ganti-berganti makan khanduri maulut.
Kedelapanbelas, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh bahawa hendaklah pada tiap-tiap tahun mengadakan Khaduri Laut yaitu di bawah perintah Amirul Bah yakni Panglima Laot.
Kesembilanbelas, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh mengerjakan Khanduri Blang pada tiap-tiap kampung dan mukim masing-masing di bawah perintah Penglima Meugoe dengan Kejrun Blang pada tiap-tiap tempat mereka itu.
Keduapuluh, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh bahawa tiap-tiap pakaian kain sutera atau benang atau payung dan barang sebagainya yang berupa warna kuning atau warna hijau tidak boleh memakainya kecuali yang boleh memakainya yaitu Kaum Bani Hasyim dan Bani Muthalib yakni sekalian syarif-syarif dan sayed-sayed yang turun menurun silsilahnya daripada Saidina Hasan dan Saidina Husin keduanya anak Saidatina Fatima Zahra Nisa' Al-Alamin alaihassalam binti Saidina Rasulullah Nabi Muhammad SAW; dan warna kuning dan warna hijau yang tersebut yang dibolehkan memakainya yaitu sekalian kaum keluarga ahli waris Kerajaan Aceh Sultan yang raja-raja dan kepada yang telah diberi izin oleh kerajaan dibolehkan memakainya; kepada siapapun.
Keduapuluhsatu, diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh bahawa jangan sekali-kali memakai perkataan yang hak kerajaan: Pertama titah kedua sabda ketiga Karunia keempat Nugerahi kelima Murka keenam Daulat ketujuh Seri Pada ( Paduka ) kedelapan Harap Mulia kesembilan Paduka Seri kesepuluh Singgahsana kesebelas Takhta keduabelas Duli Hadrat ketigabelas Syah Alam keempatbelas Seri Baginda kelimabesar Permaisuri keenambelas Ta.

Maka demikianlah sabda muafakat yang sahih-sah muktamad daripada Kerajaan Aceh Bandar Darussalam adanya.

Maka hendaklah menyampaikan sabda muafakat keputusan kerajaan kami oleh Hulubalang Menteri kami kepada sekalian rakyat kami ke seluruh Aceh iaitu daerah-daerah dan mukim-mukim dan kampung-kampung dan dusun-dusun timur dan barat tunong dan baruh kepada sekalian imam-imam dan kejrun-kejrun dan datuk-datuk dan kechik-kechik dan wakil-wakil dan sekalian orang yang tuha-tuha dan muda-muda dan sekalian orang yang ada jabatan masing-masing besar dan kecil menurut kadarnya dan ilmunya;

Yaitu mudah-mudahan insya Allah ta'ala dapat selamat bahagia sekalian umat manusia dalam negeri Aceh Bandar Darussalam khasnya dan Aceh jajahan takluk amnya yaitu siapa menjadi manusia yang baik dan berkelakuan yang baik serta tertib sopan majlis dan hormat mulia yang sempurna dengan berkat syafaat Nabi SAW supaya terpeliharalah bangsa kami Aceh dan negeri kami Aceh daripada mara dan bahaya dengan selamat sejahtera bahagia sepanjang masa dan jauh daripada lembah kehinaan dan kesusahan sepanjang hidup;

Supaya terpeliharalah negeri kami Aceh dan alam kami Aceh dan bangsa kami Aceh dengan usaha yang banyak supaya dapat mesra kesenangan bersama-sama yaitu antara rakyat dengan kerajaan dengan bersatu seperti nyawa dengan jasaad serta dengan taqwa dan tawakkal kepada Allah ta'alaa dengan menahan sabar daripada kepayahan maka tentu akhirnya insya Allah ta'ala dapat jadi kebajikan bersama-sama dengan saudara-saudara-saudara Islam yang dalam negeri Aceh dengan berkasih-kasihan dengan mengikut Syarak Allah dan Syarak Rasul dan Syarak Kerajaan.

Sanah 1272 Hijriah ( 1855 Masehi )

***

Inilah Pesan Wasiat Raja Aceh di masa silam untuk rakyat aceh dan generasi selanjutnya, sedangkan dalam buku tersebut masih sangat banyak nasehat-nasehat lain dan hikayat atjeh dimasa silam sebagai mana seorang ulama yg disebutkan dalam buku tsb, telah menulis sebuah hikayat yg intinya dalam hikayat tsb ulama itu memprediksi akan kondisi aceh di masa akan datang akhir dari hikayat ulama tsb mengatakan yg intinya:

“Aceh akan kembali maju pada suatu masa, Pada saat itu jika Lamiet akan kembali kepada Lamiet dan yang hak akan kembali kepada mereka yang berhak menerimanya”

Dari 21 pesan2 raja di atas secara detail dapat disimpulkan bahwa dalam nasehat2 itu mengandung 5 nilai hidup utama yang Islami yg menjadi falsafah dan prinsip yaitu :

1. AMANAH (Amanah direpresentasikan dalam pasal 17, 18 dan 19.)
2. BERANI (Berani terangkum dalam pasal 1, 7 dan 8)
3. DISIPLIN (Disiplin terkandung dalam pasal 2, 9, 10, 11, 12 dan 13.)
4. RAJIN ( Rajin ditemukan dalam pasal 3, 4, 5, 6, 14, 15 dan 16. )
5. SETIA (Setia pula dapat kita lihat pada pasal 20 dan 21.)

Dari kelima pesan inilah terlukiskan seberapa sayangnya raja-raja dan ulama-ulama atjeh di masa silam dalam menjaga Hak tanah yg suci yg sudah lama mereka perjuangkan dan sebagai rasa cintanya kepada generasi selanjutnya mereka mempersembahkan untaian nasehat yg sangat bermanfaat dan yang tak ternilai harganya.

Maka sesudah habis mendengar khabar maka ulamak telah bertanya apakah padahnya jika wasiat itu diabaikan. Maka menangislah Seri Baginda Sultan sebab kerana sayangnya kepada umat manusia pada masa akan datang serta Seri Baginda dalam tangisannya mengucap sabda dengan kata syair yang amat dalam maksudnya lagi nasihat yang sangat baik tujuannya dan amat luas maknanya, yaitu inilah bunyinya syair nazamnya:

Bismillahirrahmanirrahim.....

Jituka alim dengan jahil; Jituka adee dengan inaya
Jituka murah dengan bakhil; Cita akan zahir bak raja-raja

Jituka taat dengan maksiat; Jiboh aniek mit keu ureung tuha
Jituka yang la jimita yang mit; Tamsee aneuk mit yang tuha-tuha

Jituka iman jitung murtad; Asai na pangkaat megah ngon kaya
Jituka yang trang jitung yang seupot; Jitem meureubot tuwo keu desya

Jituka makmu jitem tung deuk troe; Ureng yang bako tekala wala
Jituka senang jitem tung susah; Peuget fitnah meuseunoh kadar

Jituka megah jitung hinaan; Inong ngon agam male jih hana
Jituka luwah jitem tung picek; Tanda mubaligh keurajeun raja

Jituka qanaah jitem lubha; Alamat tanda akai tan lisik
Jituka sihat jitung peunyaket; Jitem meusaket dengan hareuta

Jituka aman jitem tung kacho; Nibak bala pebala dengan saudara
Ouh akhee nanggroe lee that ban macam; Saboh yang asai saboh yang hana

Dalam syuruga hideh yang asai; Penolong Tuhan keu mukmin dumna
Yang dalam donya sinoe tan asai; Meunajih badan meu ubah rupa

Sejarah telah membuktikan tatkala Aceh Code diimplementasikan secara terus menerus, ia membawa kegemilangan bagi Aceh. Manakala Aceh Code diabaikan, sedikit demi sedikit Aceh mengalami kemunduran sampai pada titik nadir. Melihat situasi di Aceh sekarang, saya merasa sudah waktunya Aceh Code sebagai warisan endatu kita yang sangat berharga untuk kembali disosialisasikan dan diaplikasikan –tentunya setelah dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi terkini- dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh. Bila hal ini dilakukan, Insya Allah kegemilangan yang telah dicapai Aceh dalam bidang politik, ekonomi, agama dan budaya di masa lampau akan kembali terulang.
 

Teh Paling Mahal di Dunia, Made in Indonesia

Written By Unknown on Senin, 11 Februari 2013 | 20.48


Teh putih mungkin tidak sepopuler teh hitam atau teh hijau. Namun, teh itulah yang justru mendapat julukan istimewa, teh sang kaisar.

Menurut sejarah, teh putih berasal dari zaman Dinasti Song (1279-690 sebelum Masehi). Saat pertama kali ditemukan, teh yang dikenal dengan sebutan baicha itu hanya boleh dinikmati keluarga kaisar China.

Kini, teh putih boleh dinikmati siapa saja. Harganya tergolong mahal. Salah satu produsen, PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN), menjual dengan harga Rp. 1 juta per kilogram.

"Selain ditentukan oleh rasanya, juga oleh kadar antioksidannya yang ditunjukkan dengan kadar zat cathecin. Teh putih ini memiliki kadar cathecin sekitar 17%, tertinggi jika dibandingkan dengan jenis teh lain," jelas Presiden Direktur PT RPN Didiek Hadjar Goenadi pada pameran kopi, kakao, dan teh di Gedung Smesco, Jakarta Tahun 2012.

Antioksidan merupakan zat pelawan radikal bebas penyebab berbagai penyakit dan penuaan dini. Kadar . antioksidan pada teh putih yang tinggi itu tidak didapat begitu saja.

Menurut Didiek, pihaknya membutuhkan riset hingga 10 tahun untuk menghasilkan teh putih berkualitas. "RPN memiliki unit kerja penelitian. Teh putih diperoleh dari tanaman hasil penyilangan."

Peneliti dalam riset itu, Rohayati Suprihatini, menjelaskan penyilangan dilakukan dengan mengawinkan pohon-pohon teh lokal. Perkawinan itu menghasilkan klon-klon (jenis) pohon teh baru yang bersifat lebih unggul. "Klon hasil penyilangan itu kemudian dikawinkan lagi, menghasilkan klon baru lagi yang sifatnya lebih unggul lagi, begitu seterusnya," papar peraih doktor dari Institut Pertanian Bogor itu.

Penelitian panjang tersebut akhirnya mendapatkan pohon teh klan Gamboeng 4 dan 9 yang mampu menghasilkan daun teh berkadar cathecin 17,1% dan 17%. Keunggulan hasil penelitian itu diakui lembaga internasional bidang nutrisi, The International Society of Antioxidant in Nutrition and Health, dalam bentuk penghargaan Innovative Idea Award pada 2009.

Dari pohon teh klon Gamboeng 4 dan 9 itulah teh putih diproduksi. Teh itu diperoleh dari satu helai daun terujung atas yang masih kuncup, disebut peko. "Jadi, para pemetik harus berangkat subuh untuk memetik peko. Kalau kesiangan, peko keburu mekar." jelas Rohayati.
Teh putih berbentuk seperti jarum berwarna putih kepenikan. Cara minumnya, 2 gram teh putih diseduh dengan secangkir air putih 80 derajat celsius (suhu dispenser). "Meski hanya dibuat dengan 2 gram teh, kandungan antioksidan dalam secangkir teh putih setara dengan 12 gelas jus jeruk." kata Rohayati.
sumber: http://www.ipard.com/
 

catatan berserakan : Jejak diplomasi Sulthan Muhammad Daud Syah

1. Pada abad ke-XIX Belanda menghadapai perlawanan gigih dari rakyat Kesultanan Aceh (Sumatera Utara). Dalam usahanya memecahkan konflik Aceh dengan Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lainnya termasuk dari Rusia juga.

Pada tahun 1879 selagi kapal layar Rusia “Vsadnik” melabuh di Penang, delegasi yang terdiri dari wakil-wakil pemberontak Aceh menghubungi kapten kapal tersebut dengan “permohonan kepada Yang Mulia Sang Pemimpin Imperator agar negara mereka memperoleh kewarganegaraan Rusia”. Kementrian Kelautan melapor kepada Tzar mengenai permohonan tersebut yang memerintahkan mengalihkannya kepada Kementrian Luar Negeri. Jawaban Kementrian Luar Negeri kepada Kementrian Kelautan menyatakan bahwa pada saat ini Menteri Luar Negeri berpendapat bahwa tidak mungkin “membahas masalah mengenai masuknya rakyat Aceh menjadi warganegara Rusia berhubung di kemudian hari hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman diantara Pemerintahan Imperator dengan Belanda”.

Pada tanggal 15 Pebruari 1904, yang mengemban tugas Konsul Rusia di Singapura, Rudanovskiy memberitahukan bahwa Sultan Aceh menyampaikan kepada Konsulat surat permohonan yang dialamatkan kepada Nikolay II tentang permohonan untuk menerima daerah kekuasaannya dibawah perlindungan Rusia.

2. pada tahun 1873-1904 dalam upaya mencegah direbutnya Aceh oleh Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lain, termasuk Rusia. Pada tahun 1879 perjuang-pejuang Aceh menghubungi kapten kapal Rusia “Vsadnik” yang sedang berlabuh di Penang dan memohon untuk disampaikan kepada Imperator Rusia agar diberikan perlindungan. Pada tanggal 15 Februari 1904 melalui Konsul Rusia di Singapura, Rudanovsky, Sultan Aceh memohon kepada Nikolay II untuk menerima Aceh sebagai wilayah di bawah perlindungan Rusia. Setelah pembahasan di tingkat pemerintah Rusia, diputuskan bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan mengingat akan mengganggu hubungan antara pemerintahan Imperator Rusia dengan Kerajaan Belanda.

3. Pada waktu Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, Kaisar Jepang memerintahkan melalui kementerian Luar Negeri Jepang dan mengutus jenderal Shaburo I I no dengan stafnya mencari keturunan Sultan Aceh Muhammad Daudsyah. Dia bertemu dan diterima secara resmi dengan Tuanku Raja Ibrahim di Lameulo, Pidie pada 1943. Atas dasar Kaisar Jepang teringat atas surat ayahnya yang dikirim pada Kaisar Jepang. Segera setelah Jepang menang perang melawan Rusia pada tahun 1905, di Selat Tsushima. Surat ini menjadi salah satu sebab Sultan Muhammad Daudsyah dibuang dari Aceh pada tahun 1907 dan tidak kembali sampai akhir hayatnya.

4. Sultan Alaidin Muhammad Daud syah Memerintah tanpa Istana III

Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah, Berkubur di Rantau Orang
[ penulis: Dr Hasballah Saad | topik: Budaya ]
SETELAH Sultan berdamai dengan Belanda (1903), beberapa saat menetap di Koetaraja, namun tidak di Meuligoe Kerajaan. Karena saat itu telah dirampas dan diduduki Belanda sejak 1874. Selama memerintah, Sultan tak pernah memiliki istana sebagai Pusat Pemerintahan dan Kedudukan Resmi Sultan.
Harta pusaka pun telah berserakan dimana mana, hingga sejumlah benda benda penting yang berharga pun kini telah menghiasi ruang muzium di seluruh dunia, seperti di Negeri Belanda, di Portugal, di Perancis, di Malaysia, dan dimana mana. Kota Jogjakarta pun, konon kini menyimpan meriam buatan pertama pasukan Turki di Aceh dengan motif Pucok Reubong. Meriam Pucok Reubong ini adalah produk domestik Aceh pertama dibawah asistensi ahli meriam dari Turki. Ada juga Meriam Lada Sicupak hadiah Sultan Selim II, melalui Panglima Nak Dum, utusan Aceh ke Turki waktu itu, pada abad ke 16 lalu, kini juga tidak diketahui keberadaannya.
Sebagai tawanan Belanda, Sultan menyatakan kepada kawan seperjuangan dan para pemimpin gerilya yang masih aktif, kalau dia tak pernah menyerahkan kedaulatan negara kepada Belanda. Sultan menyerah dan berdamai dalam status sebagai rakyat biasa––istilah saat itu, menyerah sebagai anak negeri, Sementara Cap Sikureueng telah diserahkan kepada Tgk Syik di Tiro Mahyeddin (Teungku Syik Mayed, suami Pucut Mirah Gambang putri Cut Nyak Dhien) yang berkedudukan memimpin prang meneruskan perjuangan almarhun ayahnya Tgk Syech Saman di Tiro, di Gunong Alimon, pedalaman Tangse di Pidie.
Sultan terus melakukan korespondensi rahasia dengan beberapa perwakilan negara asing di Singapura, antara lain kedutaan Inggris, Kedutaan Amerika, Kedutaan Turki, India, dan lainnya. Namun kemudian diketahui Belanda, maka Sultan dipisahkan dengan rakyat pengikutnya yang setia. Awak tahun 1904, beliau dibuang ke Ambon.

sumber:
http://www.indonesia.mid.ru/
http://www.kemlu.go.id/moscow/Pages/
http://kuartil.wordpress.com/2011/06/27/nasib-putra-mahkota-keturunan-s
http://www.acehforum.or.id/archive/index.php/t-16547.html


Taqiyuddin, Menyelamatkan Jejak Pasai

Written By Unknown on Minggu, 10 Februari 2013 | 03.20

Puluhan tahun, terutama pada masa konflik, ribuan makam tua di Aceh Utara tak terurus. Tak banyak studi tentang batu bersurat peninggalan Kerajaan Samudra Pasai. Padahal, bebatuan ini menyimpan jejak kejayaan peradaban pesisir timur Aceh. Bagi Taqiyuddin Muhammad, epigrafi dalam prasasti itu adalah bagian dari Kerajaan Pasai yang perlu diselamatkan.

Sebagian prasasti penting itu kondisinya mengenaskan. Ada makam berukir yang patah tertimpa pohon, tersembunyi di balik semak belukar, dan sebagian melapuk diselimuti lumut.

Kenyataan ini menggugah Taqiyuddin, terutama setelah ia mempelajari sejarah kebudayaan Islam di Mesir dan menguasai bahasa Arab. Keinginan itu semakin kuat setibanya dia di Aceh pada 2005. Bekal ilmu selama 14 tahun belajar di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, cukup baginya untuk mulai ”membongkar” prasasti Pasai.

Ia sendiri tak tahu banyak jejak sejarah ”kampungnya”. Pria kelahiran Peusangan, Biereun, Aceh, ini justru akrab dengan sejarah Mesir kuno.

Pascaperdamaian di Aceh, Agustus 2005, dia memulai perjuangannya. Pada 2007 ia mengajak sejumlah pemuda yang mempunyai gagasan dan keinginan sama untuk bergabung. Upaya ini bukan pekerjaan ringan. Selain harus berjuang dengan terbatasnya dana, ia mesti menahan diri dari cibiran sejumlah kerabat dan tetangga.

”Mereka sempat mengatakan, ’Ah itu hanya proyek tengku, paling nanti juga bawa proposal ke kantor bupati.’ Membawa proposal ke kantor pemerintah berarti meminta dana. Ini stigma negatif yang perlu diluruskan,” tutur Taqiyuddin.
sumber:
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Sejarah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger